Sabtu, 27 Desember 2008

Cara mengatasi penderitaan

PENDERITAAN




Benarkah dalam penderitaan terkandung kebahagiaan , atau dalam kebahagiaan terkandung penderitaan ?. Dua pengertian yang bertolak belakang. Jika seseorang menerima upah karena bekerja, maka, apakah dapat dikatakan bekerja sebagai penderitaan dan upah sebagai kebahagiaan ? Upah dapat berupa uang, prestasi, penghargaan, kemampuan yang meningkat, atau yang lain yang merupakan buah penderitaan, atau sesuatu yang dapat dibanggakan. Betapa bangganya seorang pahlawan ketika perjuangan dengan pahlawan yang lain menghasilkan kemerdekaan bagi negerinya dan tidak bagi dirinya sendiri selain kebahagian pribadi.

Jika penderitaan dan atau kebahagiaan ditarik ke dalam kasanah di luar manusia pribadi, maka sesuatu dapat disebut penderitaan dan atau kebahagiaan tidak dapat dikatakan “relatif’ dengan tetap memberikan kesempatan kepada pribadi-pribadi untuk memaknainya. Apakah penderitaan selalu muncul ketika manusia tidak melakukan apa-apa, atau menunggu suatu perbuatan tertentu termasuk melakukan aktifitas pemikiran (banyak lho yang bengong sendirian, dan akhirnya mempunyai dunia sendiri). Apakah sesuatu perbuatan (termasuk tidak melakukan perbuatan) akan menghasilkan penderitaan dan bermuara kepada kebahagiaan, atau sesuatu itu menghasilkan kebahagiaan dan bermuara pada penderitaan ? Atau hasil sesuatu itu pasti penderitaan atau kebahagiaan yang umurnya terbatas, sehingga harus dicari kebahagiaan-kebahagiaan baru (penderitaan diasumsikan tidak dicari meskipun ada yang melakukannya untuk tujuan tertentu. Secara umum penulis mengasumsikan tidak dicari)

Yang sering ditemukan dalam sejarah manusia adalah pembahasan mengenai penderitaan dan atau kebahagiaan dalam konteks penderitaan. “Dunia timur” lebih bijak dalam mengurai penderitaan dengan mengangkatnya ke dalam eksistensi manusia itu sendiri. Manusialah yang bertanggungjawab terhadap penderitaan dengan menerimanya sebagai kenyataan. Hanya saja penderitaan itu diurai dalam dunia tersendiri. Apakah itu suatu penderitaan atau bukan, tidak lagi diurai, tetapi bagaimana manusia mengurai “bagaimana memaknai sesuatu yang bebas nilai”. Tidak ada penderitaan atau kebahagiaan. Yang ada hanyalah “tanggapan” terhadap sesuatu. Penderitaan jika sesuatu itu ditanggapi sebagai penderitaan. Demikian juga dengan kebahagiaan. Meskipun demikian, sebab musabab suatu yang dapat ditanggapi sebagai penderitaan tidak dibiarkan saja, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab akan dibenahi.

Dunia timur tidak pernah mempunyai janji tetapi memberikan jalan bagaimana menilai kenyataan. Dunia timur tidak menjanjikan kebaikan dalam ukuran tertentu akan menghasilkan kebahagiaan dalam ukuran tertentu. Demikian juga sebaliknya. Dunia timur tidak melihat dunia hitam putih sebagai dunia yang dipaksakan seperti dalam sintron kita. Dalam dunia kita akan ditemui dunia yang tidak ideal dalam ukuran tertentu yang tidak mengetahui kejadiaan masa lalu. Cucu seorang koruptor (tentunya mewarisi keuntungan yang didapatkan dari korupsi ) tidak akan menyadari kebahagiaannya (dalam ukuran tertentu) dan tetap merasa suci dan mungkin juga mendengungkan kesuciaannya, jika dia tidak mengetahui sama sekali tingkah korupsi kakeknya ( Bisa saja tidak seorangpun tahu ). Seseorang yang baik dalam ukuran tertentu juga tidak akan dengan sendirinya akan berakhir dengan kebahagian dan mewariskan kebahagiaan dalam ukuran tertentu. Bahkan bisa-bisa sebaliknya yang terjadi dengan orang yang tidak baik dalam ukuran tertentu. Dalam janji itu kenyataan dianggkat jauh dari eksistensi manusia, setidaknya eksistensi manusia yang menunggu janji.

Sama seperti upah, tidak ada penderitaan yang harus dilihat secara berlebihan jika itu terjadi dengan sendirinya akibat hubungan sebab akibat. Narapidana adalah kenyataan logis dari hubungan tersebut. Demikian juga dengan prestasi yang didapat seorang juara. Keberhasilan seorang pengusahaan dan lain-lain. Tidak ada seorangpun menginginkan penderitaan akibat buah perbuatan orang lain. Karena itu bukan sebagai resiko dalam hubungan sebab akibat. Setidaknya akan terjadi penolakan terhadap penderitaan tersebut tanpa perlu memberlakukan etika. Berbeda dengan kebahagiaan yang diakibatkan orang lain. Bahkan dapat terjadi tanpa mempertimbangkan asal usul kebahagiaan, kebahagiaan itu diterima saja. Bukan tujuan pemberian kebahagiaan. Adalah sulit menerima jika ada yang bersedia menerima penderitaan yang harusnya diderita oleh orang lain. Bahkan, atau lucunya, jika penerimaan penderitaan tidak tidak diterima oleh ukuran tertentu, atau bukan karena penilaian penerimaan penderitaan itu, tetapi tidak bersedia mengikuti sikap penerimaan penderitaan.

Jika seseorang menderita karena tidak melakukan korupsi, sebenarnya dia telah mengambil penderitaan orang lain ( jika dia korupsi ). Bukan karena janji seperti di sinetron kita. Tidak punya laptop karena tidak diberi, ya tidak apa-apa. Janji itu bisa membuat orang memanipulatif perbuatannya. Perbuatannya yang bisa membuat orang menderita, bukan untuk mengambil penderitaan tetapi untuk menghilangkan penderitaan yang terbayang dalam pemikirannya. Ada atau tidak penderitaan yang terbayang, tergantung bagaimana memanupulasi keadaan dan perbuatan. Tidak semua orang mau dengan sendirinya mengambil alih penderitaan orang lain, tetapi sikap untuk memulai dan belajar dari sejarah mereka yang telah bersedia menderita untuk orang lain, adalah sikap yang bijak.

cara mengatasi penderitaan

Setiap hari, ada saja peristiwa yang menguji kesabaran dan menekan jiwa kita. Anak kita membandel, suami acuh tak acuh, isteri ngomel, teman kita menghina dan mengumpat, bisnis tidak menguntungkan bahkan malah terancam bangkrut, saham jatuh, tidak lulus ujian dan lain-lain lagi. Begitulah nasib kita manusia. Sejauh mana pun kita coba untuk mengelak dari perkara-perkara yang mengganggu ketenangan dan kenyamanan kita, hal-hal tadi tetap akan terjadi juga.

Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan, sedikit pun kita tidak ada kuasa untuk menolak ketentuan Tuhan. Kalau Tuhan ingin kita sakit, walau bagaimana pun kita coba menjauhi penyakit, kita tetap akan jatuh sakit. Kalau Tuhan tidak mau kita jadi kaya, walau bagaimana pun kita mengusahakan kekayaan, ia tidak akan dimiliki juga. Dan memang usaha manusia itu tidak dapat menentukan hasil akhir atau tidak memberi bekas sedikitpun .

Lantas, persiapan apa yang perlu kita buat untuk menghilangkan stress ketika menghadapi pelbagai bentuk nasib malang yang pasti menimpa kita? Dintaranya ialah:

1. Mengenal diri kita sebagai penerima nasib malang dan juga mengenal Tuhan sebagai pemberinya .

Kita harus kenal bahwa diri kita adalah hamba ciptaan yang sangat lemah dan tidak punya apa-apa. Malah dalam penciptaan diri kita sendiri, kita tidak ada campur tangan, tidak ada saham, sama sekali tidak keluar modal. Keputusan untuk mencipta diri kita pun semuanya ditentukan oleh Tuhan. Selain seluruh badan kita yang begitu unik dan kompleks ini, Tuhan jugalah yang memberi kita daya upaya, fikiran dan perasaan. Lantaran itu, apabila Tuhan timpakan sesuatu kesusahan ke atas diri kita, inilah peluang untuk kita sadar bahwa diri kita adalah hamba yang lemah dan tidak punya kuasa apa-apa . Mungkin selama ini kita sudah merasa berkuasa,me rasa mampu dan merasa pandai dan bisa, sehingga kita lupa untuk bergantung dan berharap kepada Tuhan.

2. Setiap takdir Tuhan ke atas kita, selain kekufuran, semuanya mengandung hikmah dan pelajaran .


Antaranya ialah:
a. Kalau Tuhan sekali-sekali menyakitkan kita, sudah tentu ada maksud yang baik dari Tuhan .
Antara maksud-maksud baik Tuhan ialah Dia ingin menghapuskan dosa kita, Dia ingin kita insyaf di atas kelemahan diri kita, Dia ingin kita ingat-ingat kesalahan kita dan memperbaikinya serta bertaubat, Dia ingin kita merasakan penderitaan orang lain agar kita menjadi orang yang lebih prihatin dan simpati. Dia juga ingin kita lebih bergantung dan berharap kepada-Nya.

b. Kalau Tuhan sekali-sekali memiskinkan kita, tentu ada maksud pendidikan juga .
Mungkin Dia ingin kita mendapat pahala sabar karena miskin. Dia ingin kita merasakan penderitaan orang miskin. Dan tentunya Dia ingin kita meneliti kembali segala tindak-tanduk kita, apakah kita sudah melakukan suatu kesalahan dan kesilapan yang menyebabkan Tuhan tidak membantu kita.

c. Begitu juga apabila kita sekali-sekali dibuat terhina .
M
ungkin Tuhan ingin kita bertaubat karena kita pernah menghina atau menzalimi orang lain ataupun Dia ingin mengungkai rasa sombong yang bersarang di dalam hati kita. Atau Tuhan sengaja memberi kesusahan itu karena Dia ingin mengangkat darjat kita di sisi-Nya.

d. Apabila berhadapan dengan ujian, waktu itu akan terlihat jelas penyakit-penyakit hati yang masih bersarang di dalam hati kita, seperti sombong, pemarah, hasad dengki, dendam dan lain-lain lagi .
Penyakit hati ini mungkin tidak dapat kita rasakan atau tidak dapat kita kesan dalam suasana yang tenang dan nyaman, tetapi sifat jahat tadi akan terasa dan terlihat apabila hati kita tertekan. Penyakit-penyakit inilah yang membuat kita stress. Apabila sedang stress, barulah kita tahu siapa diri kita sebenarnya. Kalau sebelum ini nampak lemah lembut, bila stress kita bisa jadi marah-marah tak tentu arah. Kalau selama ini nampak sabar, tetapi bila stress kita dapat bertindak di luar batasan.

Pendek kata, segala sesuatu yang ditimpakan ke atas kita adalah untuk kebaikan diri kita. Dia ingin mendidik kita agar kita kembali kepada-Nya sebagai hamba yang diredhai-Nya. Dengan ini, kita akan selamat dari kemurkaan-Nya.

3. Hendaklah pandai menerima ketentuan dan takdir Tuhan secara positif supaya hati kita akan tenang dan kita juga akan mendapat hasil yang positif darinya .
Sebaliknya, kalau kita menerimanya secara negatif, hati kita akan tertekan dan stress dan sudah tentu kita juga akan mendapat hasil yang negatif.


Contohnya:
Kita ditakdirkan mendapat anak-anak yang nakal, atau teman-teman yang menyebalkan. Setiap hari, ada saja kelakuannya yang sangat mengganggu kita.
Kalau kita menerimanya secara positif, kita akan berkata kepada diri kita, Karena dosa akulah anak-anak aku ini nakal. Allah buat seperti ini untuk membersihkan dosa-dosa yang sudah aku lakukan.

Ataupun kita boleh berkata begini, Tuhan memberi aku ujian ini untuk memberi aku pahala sabar. Kalau aku sabar, bukan saja aku akan dapat ganjaran di sisi Tuhan tetapi yang lebih penting, aku dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.

Kalau begini penerimaan kita, tentulah kita tidak akan marah-marah atau ngomel dan menghukum anak di luar batasan atau mengamuk-ngamuk kepada suami kita. Sebaliknya, kita akan terus-menerus menasihatinya dengan baik dan mendoakan anak kita agar dia menjadi anak yang soleh satu hari nanti. Dan biasanya, berkat prasangka baik kita kepada Tuhan, anak itu akan menjadi anak yang baik apabila dia besar.

Ini selaras dengan firman Tuhan yang maksudnya:
Aku di atas prasangka hamba-hamba-Ku ke atas-Ku.

Penerimaan yang negatif adalah jika kita merungut-rungut karena nasib yang ditimpakan itu, kita akan bersikap marah-marah serta melepas geram dengan menghukum anak serta terbawa-bawa sikap marah itu kepada orang lain.

Hati kita mungkin berkata, Kenapa Tuhan berikan aku anak yang senakal ini, atau kita akan berkata, Tak ada gunanya dapat anak seperti ini. Bukannya menyenangkan,malah menyusahkan saja.

Akibat didikan yang kasar itu serta sangkaan-sangkaan yang buruk terhadap Tuhan, anak itu bila besar kelak akan menjadi anak yang tidak baik akhlaknya. Stress yang kita hadapi bila anak itu kecil akan terus kita hadapi sehingga dia besar. Bukan saja anak yang rugi, kita juga akan turut rugi. Ini semua karena buruk sangka kita dan tidak pandainya kita menerima takdir Tuhan.

Lantaran itu, terimalah segala takdir Tuhan dengan sebaik-baiknya. Anggaplah setiap takdir itu sebagai didikan langsung dari Tuhan dengan penuh kasih sayang. Dengan sikap begini, hati tidak akan stress, kita dapat menambah rasa kehambaan serta dapat pula mengungkai sifat-sifat yang tidak baik dalam diri kita dengan lebih cepat. Malahan kita juga tidak akan mengakibatkan kesan negatif kepada orang di sekeliling kita.